BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui, semua
Negara pasti mempunyai peraturan-peraturan dan hukum,dan begitu juga dengan
Negara Indonesia. Negara Indonesia adalah Negara hukum, yang mempunyai
peraturan-peraturan hukum, yang sifatnya memaksa seluruh masyarakat atau rakyat
Indonesia harus patuh terhadap peraturan-peraturan atau kebijakan-kebijakan
hukum di Indonesia bahkan juga memaksa
orang asing yang berada di wilayah Indonesia untuk patuh terhadap hukum yang
ada di Negara Indonesia, dan Negara pun membentuk badan penegak hukum guna
mempermudah dalam mewujudkan Negara yang adil dan makmur. Tetapi tidak dapat
dipungkiri masih banyak kesalahan dalam menegakan hukum di Negara kita. Dan
masih banyak juga ketidak adilan dalam melaksanakan hukum yang berlaku.tetapi
itu bukanlah salah dalam perumusan hukum,melainkan salah satu keteledoran
badan-badan pelaksa hukum di Indonesia.
Akibat dari keteledoran tersebut banyak sekali
pelangaran-pelangaran hukum, dan pelangar-pelangar hukum yang seharusnya di
adili dan dikenakan sangsi yang seharusnya,malah dibiarkan begitu saja.dan hal
ini sangat berdampak buruk bagi masa depan Negara ini.
Oleh karena itu kita akan membahas apa bagaimana penegakan hukum yang adil.dan bagaimana
upaya-upaya penegakan hukum di Negara kita ini. untuk memulihkan atau membentuk
Negara yang memiliki hukum yang tegas dan sesuai dengan undang-undang yang
berlaku. Karena masalah tersebut merupakan masalah yang sangat serius yang
harus dipecahkan, guna menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.dan
dalam menegakkan hukum di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah
ini adalah sebagai berikut :
☺
Apakah pengertian Penegakan Hukum?
☺
Apa saja unsur utama dalam Penegakan Hukum?
☺
Bagaimanakah ciri penegakan hukum yang baik?
☺
Bagaimanakah penegakan hukum di Indonesia?
☺
Bagaimana kebijakan yang perlu
dilakukan pemerintah dalam penegakan hukum
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
membahas mengenai Penegakan
hukum di Indonesia.
Makalah ini
disusun juga dengan tujuan agar dapat dijadikan sumber referensi untuk
pembelajaran selanjutnya. Disamping itu pula,untuk memenuhi tugas makalah individual mata kuliah Kewarganegaraan.
BAB
II
Penegakan Hukum
2.1
Pengertian Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk
tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman
perilaku dalam lalu-lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudutnya penegakkan hukum dibagi
menjadi dua yaitu dari sudut subjektif dan sudut objektif.
Dari sudut subjeknya penegakan hukum itu dapat dilakukan
oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh
subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan
hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja
yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti
dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi
subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur
penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum
berjalan sebagaimana seharusnya.
Ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya.
Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam
arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang
terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya
menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu,
penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam
menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula
digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit.
Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan
untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern
itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule
by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum
sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.
Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum
itu merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti
formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman
perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang
bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan
kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum
yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
2.2 Unsur Utama
dalam Penegakan Hukum
Menurut Gustav Radbruch terdapat tiga (3) unsur utama/tujuan dalam penegakan hukum, yaitu keadilan
(Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtssicherheit)
dan kemanfaatan (Zweckmaβigkeit)
Kepastian hukum oleh setiap orang
dapat terwujud dengan ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa
konkrit. Hukum yang berlaku pada dasarnya tidak
dibolehkan menyimpang, hal ini
dikenal juga dengan istilah fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia
ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian
hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan
sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu
yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya
kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih
tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban
masyarakat. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau
penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau
penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Hukum
tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang,
bersifat menyamaratakan. Barang siapa mencuri harus dihukum, dimana setiap
orang yang mencuri harus dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri.
Kepastian hukum sangat identik dengan pemahaman positivisme hukum. Positivisme hukum berpendapat bahwa satu-satunya
sumber hukum adalah undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata
penerapan undang-undang pada peristiwa yang konkrit. Undang-undang dan hukum diidentikkan. Hakim positivis dapat
dikatakan sebagai corong undang-undang. Montesquieu menuliskan dalam bukunya “De
l’esprit des lois” yang mengatakan:
“Dans le
gouverment republicant, il est de la nature de la constitution que les juges
suivent la letter de la loi…Les juges de la nation ne sont qui la bounce qui
pronounce les parolesde la loi, des etres inanimes qui n’en peivent moderer ni
la force ni la rigueur” (Dalam suatu negara yang berbentuk Republik, sudah
sewajarnya bahwa undang-undang dasarnya para hakim menjalankan tugasnya sesuai
dengan apa yang tertulis dalam undang-undang. Para hakim dari negara tersebut
adalah tak lain hanya merupakan mulut yang mengucapkan perkataan undang-undang,
makhluk yang tidak berjiwa dan tidak dapat mengubah, baik mengenai daya
berlakunya, maupun kekerasannya) (Hamzah, 1996: 114).
Dengan pernyataan itu, legisme sejalan dengan Trias Politika dari Montesquieu, yang menyatakan bahwa,
hanya apa yang dibuat oleh badan legislatif saja yang dapat membuat hukum, jadi
suatu kaidah yang tidak ditentukan oleh badan legislatif bukanlah merupakan
suatu kaidah, hakim dan kewenangan pengadilan hanya menerapkan undang-undang
saja. Penegakan hukum yang mengutamakan kepastian hukum juga akan membawa
masalah apabila penegakan hukum terhadap permasalahan yang ada dalam masyarakat
tidak dapat diselesaikan berdasarkan hati nurani dan keadilan.
Keadilan adalah
harapan yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum. Berdasarkan
karakteristiknya, keadilan bersifat subyektif,
individualistis dan tidak menyamaratakan. Apabila penegak hukum menitik
beratkan kepada nilai keadilan sedangkan nilai kemanfaatan dan kepastian hukum dikesampingkan, maka hukum itu tidak dapat berjalan
dengan baik. Demikian pula sebaliknya jika menitik beratkan kepada nilai kemanfaatan sedangkan kepastian hukum dan
keadilan dikesampingkan, maka hukum itu tidak jalan. Idealnya dalam
menegakkan hukum itu nilai-nilai dasar keadilan yang merupakan nilai dasar
filsafat dan nilai-nilai dasar kemanfaatan merupakan suatu
kesatuan berlaku secara sosiologis, serta nilai dasar kepastian hukum yang
merupakan kesatuan yang secara yuridis harus diterapkan secara seimbang dalam
penegakan hukum.
Hal menarik yang
perlu dicermati apabila terdapat 2 (dua) unsur yang saling tarik menarik antara
Keadilan dan Kepastian Hukum, Roeslan Saleh mengemukakan (dalam Siregar,
2008: 121-122):
“Keadilan dan kepastian hukum merupakan dua tujuan hukum yang kerap kali
tidak sejalan satu sama lain dan sulit dihindarkan dalam praktik hukum. Suatu
peraturan hukum yang lebih banyak memenuhi tuntutan kepastian hukum, maka
semakin besar pada kemungkinannya aspek keadilan yang terdesak.
Ketidaksempurnaan peraturan hukum ini dalam praktik dapat diatasi dengan jalan
memberi penafsiran atas peraturan hukum tersebut dalam penerapannya pada
kejadian konkrit. Apabila dalam penerapannya dalam kejadian konkrit, keadilan
dan kepastian hukum saling mendesak, maka hakim sejauh mungkin harus
mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”.
Roscue
Pound
sebagai salah satu ahli hukum yang ber-mazhab pada Sosiological Jurisprudence, terkenal dengan teorinya yang
menyatakan bahwa, “hukum adalah alat untuk memperbarui (merekayasa) masyarakat
(law as a tool of social engineering)”.
Hal inilah yang menjadi tolak pemikiran dari Satjipto Raharjo dengan menyatakan,
”bahwa hukum adalah untuk manusia,
pegangan, optik atau keyakinan dasar, tidak melihat hukum sebagai suatu yang
sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat
perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum
ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum” (Halim, 2009: 390).
Dengan
demikian, bahwa kedudukan keadilan merupakan unsur yang sangat penting dalam
penegakan hukum di Indonesia. Indonesia memiliki kultur masyarakat yang beragam
dan memiliki nilai yang luhur, tentunya sangat mengharapkan keadilan dan
kemanfaatan yang dikedepankan dibandingkan unsur kepastian hukum. Keadilan
merupakan hakekat dari hukum, sehingga penegakan hukum pun harus mewujudkan hal
demikian. Disamping kepastian hukum dan keadilan, unsur lain yang perlu
diperhatikan adalah kemanfaatan.
Kemanfaatan
dalam penegakan hukum merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan dalam mengukur
keberhasilan penegakan hukum di Indonesia. Menurut aliran
Utilitarianisme, penegakan hukum
mempunyai tujuan berdasarkan manfaat tertentu (teori manfaat atau teori
tujuan), dan bukan hanya sekedar membalas perbuatan pembuat pidana, bukanlah
sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang melakukan
tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat Kemanfaatan
disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness).
Hukum yang
baik adalah hukum yang memberikan kebahagiaan bagi banyak orang. Hal ini
dikuatkan dengan pendapat Jeremy Bentham, bahwa:
“Pemidanaan itu harus
bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dan seberapa kerasnya pidana itu tidak
boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya
penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia
memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar” (Rahardjo, 2006: 275).
Maka, apabila melihat hal yang ideal
berdasarkan 3 (tiga) unsur/tujuan penegakan hukum yang telah dikemukakan di
atas, penegakan hukum di Indonesia terlihat cenderung mengutamakan kepastian
hukum.
Harmonisasi antar unsur yang diharapkan dapat saling mengisi, ternyata sangat
sulit diterapkan di Indonesia. Aparat penegak hukum cenderung berpandangan,
hukum adalah perundang-undangan dan mengutamakan legal formil dalam setiap
menyikapi fenomenal kemasyarakatan.
2.3 Ciri
Penegakan Hukum Yang Baik
Salah
satu ciri penegakan hukum yang baik, tercermin dari tertib administrasi di
dalam proses penegakan hukum serta adanya keterpaduan dan keserasian antar
aparat penegak hukum khususnya dalam system peradilan pidana yang dikenal
dengan integrated criminal justice
system.
Keterpaduan
antar aparat penegak hukum tersebut tidak boleh disalahartikan sehingga hanya
mengedepankan kerjasama antar aparat hukum saja yang dapat mengakibatkan
terjadinya bias yang mengarah kepada tidak tertibnya administrasi atau bahkan
dilanggarnya rule of law. Kerjasama
antar aparat hukum dimaksudkan untuk memperlancar upaya penegakan hukum sesuai
dengan asas cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak
memihak dalam penyelesaian perkara. Dengan kata lain, keterpaduan dimaksudkan
untuk terciptanya efektifitas dan efisiensi yang merupakan ciri lain dari good governance dengan tetap selalu memperhatikan rule of law dan tata tertib
administrasi.
2.4 Penegakan
Hukum di Indonesia
Jika dilihat dari segi penegakan hukumnya negara Indonesia
bisa dibilang sedang mengalami keterpurukan dalam penegakan hukumnya. Karna
beberapa kasus besar yang terjadi seperti Aliran Dana Bank Century, Kasus Mavia
Pajak Gayus Tambunan, ditambah dengan Kasus Wisma Atelit yang menyeret mantan
bendahara Partai Demokrat “Nazarudin” dan anggota DPR “Angelina Sondakh” sangat
memprihatinkan, karna pemerintah tidak dapat menyelesaikan kasus tersebut
secara tuntas.
Buruknya kinerja pemerintah dalam pemberantasan korupsi juga
tergambar dari persepsi publik terhadap kondisi penegakan hukum secara
nasional. LSI mencatat, dari data longitudinal lembaga itu terhadap kondisi
penegakan hukum secara nasional, per Desember 2011 berada pada titik paling
rendah, minus 7. Padahal, data pada Desember 2008, tren persepsi atas penegakan
hukum secara nasional masih di angka 32. Berdasarkan data Governance Indicator World Bank 2011, dalam 10 tahun demokrasi
Indonesia tidak mengalami kemajuan berarti, dan masih tetap negatif. “Korupsi
tinggi, kepastian hukum rendah, regulasi tidak berkualitas, dan inefisiensi
penyelenggaraan negara. Jika ini terus berlanjut, kepercayaan publik terhadap
penegakan hukum dan pemberantasan korupsi bisa semakin merosot,” ujar Direktur
Eksekutif LSI, Dodi Ambardi
Sebaiknya
pemerintah segera melakukan perbaikan dalam penegakan hukum di Indonesia, karna
banyak rakyat yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap masa pemerintahan
Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ada baiknya generasi yang lebih tua
mengajarkan nilai moral postif agar generasi muda tidak ikut terjerumus untuk
melanggar norma-norma serta nilai-nilai yang luhur tertanam pada hukum di negeri
Indonesia.
2.5 Kebijakan yang Perlu Dilakukan Pemerintah
dalam Penegakan Hukum
Menukik ke pembicaraan yang lebih konkrit,
ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam
penegakan hukum. Di tingkat substansi hukum -peraturan
perundang-undangan- pemerintah perlu mendorong
pembentukan perangkat peraturan
yang terkait dengan
penegakan hukum dengan visi di atas.
Misalnya saja, pembentukan peraturan yang mewajibkan prosedur teknis dalam melaksanakan prinsip transparansi
dan akuntabilitas.Juga, pemerintah, sebagai salah satu aparat pembentuk
undang-undang, perlu berinisiatf membentuk undang-undang yang berkaitan dengan
perbaikan institusi penegakan hukum:
Pengadilan, Kejaksaan, dan Kepolisian. Di
tingkat aparat, perlu ada kebijakan yang berkaitan dengan disiplin yang tinggi.
Bukan hanya aparat penegak hukum yang
langsung berkaitan dengan pengadilan tetapi seluruh
aparat birokrasi pemerintah.
Sebab penegakan hukum
bukanlah hanya dilakukan di pengadilan
tapi juga soal bagaimana menjalankan peraturan perundang-undangan secara konsisten, tanpa kolusi, korupsi, dan
nepotisme. Dalam konteks “kultur”
hukum, pemerintah perlu menjalankan kebijakan ke dua arah, yaitu kepada
dirinya sendiri, dalam hal ini aparat birokrasi, dan kepada rakyat pengguna
jasa penegakan hukum. Kultur ini bisa saja menjadi keluaran dari proses disiplin yang kuat yang menumbuhkan budaya
penghormatan yang tinggi kepada hukum.
Namun di samping itu, perlu juga
dilakukan rangkaian kegiatan yang sistematis
untuk mensosialisasikan hak dan kewajiban warga negara, agar muncul kesadaran politik dan hukum.
Anggaran
Penegakan Hukum
Masih
dalam konteks kebijakan
pemerintah, penegakan hukum
inipun harus
didukung pendanaan yang mencukupi oleh pemerintah serta, yang lebih penting lagi, perencanaan pendanaan yang memadai. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, dana untuk sektor hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) meningkat dari tahun ke tahun. Namun, ada beberapa permasalahan dalam hal anggaran ini, seperti diungkapkan dalam Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pengelolaan Keuangan Pengadilan yang disusun oleh Mahkamah Agung bekerja sama dengan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).
didukung pendanaan yang mencukupi oleh pemerintah serta, yang lebih penting lagi, perencanaan pendanaan yang memadai. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, dana untuk sektor hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) meningkat dari tahun ke tahun. Namun, ada beberapa permasalahan dalam hal anggaran ini, seperti diungkapkan dalam Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pengelolaan Keuangan Pengadilan yang disusun oleh Mahkamah Agung bekerja sama dengan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).
Dalam hal perencanaan dan pengajuan APBN, kelemahan internal
pengadilan yang
berhasil diidentifikasi antara lain: (i) ketiadaan parameter yang obyektif dan argumentasi yang memadai; (ii) proses penyusunan yang tidak partisipatif; (iii) ketidakprofesionalan pengadilan; dan lain-lain (MA, 2003: 53-55). Kebanyakan “perencanaan” dana pemerintah untuk satu tahun anggaran tidak dilakukan berdasarkan pengamatan yang menyeluruh berdasarkan kebutuhan yang riil, melainkan menggunakan sistem “line item budgeting” menggunakan metode penetapan anggaran melalui pendeketan “incremental” (penyusunan anggaran hanya dilakukan dengan cara menaikkan jumlah tertentu dari anggaran tahun lalu atau anggaran yang sedang berjalan). Akibatnya, dalam pelaksanaan anggaran, muncul “kebiasaan” untuk menghabiskan anggaran di akhir tahun anggaran, tanpa memperhatikan hasil dan kualitas dari anggaran yang digunakan (MA, 2003: 53-55) .
berhasil diidentifikasi antara lain: (i) ketiadaan parameter yang obyektif dan argumentasi yang memadai; (ii) proses penyusunan yang tidak partisipatif; (iii) ketidakprofesionalan pengadilan; dan lain-lain (MA, 2003: 53-55). Kebanyakan “perencanaan” dana pemerintah untuk satu tahun anggaran tidak dilakukan berdasarkan pengamatan yang menyeluruh berdasarkan kebutuhan yang riil, melainkan menggunakan sistem “line item budgeting” menggunakan metode penetapan anggaran melalui pendeketan “incremental” (penyusunan anggaran hanya dilakukan dengan cara menaikkan jumlah tertentu dari anggaran tahun lalu atau anggaran yang sedang berjalan). Akibatnya, dalam pelaksanaan anggaran, muncul “kebiasaan” untuk menghabiskan anggaran di akhir tahun anggaran, tanpa memperhatikan hasil dan kualitas dari anggaran yang digunakan (MA, 2003: 53-55) .
Kertas Kerja tersebut merumuskan serangkaian
rekomendasi yang sangat teknis guna mengatasi kelemahan-kelemahan
tersebut. Kertas Kerja itu memang lebih banyak ditujukan untuk
mempersiapkan wewenang administrasi dan keuangan yang akan dipindahkan dari
pemerintah ke Mahkamah
Agung. Meski begitu,
setidaknya beberapa rekomendasi
yang sifatnya umum
dan sesuai dengan
arah kebijakan penegakan
hukum, seharusnya dapat diterapkan pula oleh pemerintah.
Kebijakan
yang Mendesak
Dalam jangka pendek, hal yang paling dekat yang bisa dilakukan
pemerintah untuk mendukung penegakan
hukum misalnya terkait
dengan wewenang administrasi pengadilan yang masih ada di tangan pemerintah hingga September 2004. Di
sini, pemerintah bisa memainkan peranan penting dalam mendisiplinkan
hakim-hakim yang diduga melakukan praktek korupsi dan kolusi. Selain itu, perlu
ada dorongan dalam pembentukan undang-undang yang berkaitan dengan pembenahan
institusi pengadilan. Seperti perubahan lima undang-undang yang berkaitan
dengan sistem peradilan terpadu (integrated
justice system), yaitu UU Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU Peradilan Tata Usaha
Negara, UU Mahkamah Agung, UU
Peradilan Umum, dan UU Kejaksaan. Kelima undang-undang ini tengah dibahas di DPR oleh
Badan Legislasi (lihat www.parlemen.net). Sejauh
perannya bisa dimainkan
dalam proses pembahasan kelima undang-undang ini, pemerintah perlu mendorong perbaikan institusi yang mengedepankan
pengadilan yang bersih dan independen. Begitu pula halnya dengan rencana
penyusunan UU tentang Komisi Yudisial
yang sudah disampaikan oleh Badan Legislasi DPR kepada pemerintah namun belum mendapatkan jawaban.
Dalam hal korupsi, yang tentunya berkaitan
erat dengan konsistensi penegakan hukum, pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang tengah dilaksanakan harus mendapatkan perhatian yang serius
dari pemerintah. Demikian juga dengan rencana pembentukan Pengadilan Khusus
Korupsi yang direncanakan terbentuk
pada bulan Juni 2004
(lihat Bappenas, Cetak
Biru Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi). Satu hal yang sama sekali tidak boleh dilupakan
adalah peran pemerintah dalam perbaikan institusi kejaksaan dan
kepolisian yang jelas berada di bawah wewenang pemerintah. Pada
saat ini Kejaksaan
tengah menyusun cetak
biru pembaruan kejaksaan dengan asistensi Komisi Hukum Nasional.
Di sini perlu ada dorongan politik
yang kuat agar cetak biru tersebut tersusun dengan baik dan, lebih penting lagi, dapat terlaksana dengan baik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penegakan hukum merupakan upaya yang dilakukan untuk
menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel
yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh
para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang
resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya
norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Menurut Gustav
Radbruch terdapat tiga (3) unsur utama/tujuan dalam penegakan
hukum, yaitu keadilan
(Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtssicherheit)
dan kemanfaatan (Zweckmaβigkeit). Salah satu
ciri penegakan hukum yang baik, tercermin dari tertib administrasi di dalam
proses penegakan hukum serta adanya keterpaduan dan keserasian antar aparat
penegak hukum khususnya dalam system peradilan pidana. Jika dilihat dari segi penegakan
hukumnya negara Indonesia bisa dibilang sedang mengalami keterpurukan dalam
penegakan hukumnya
Kebijakan yang perlu dilakukan pemerintah
dalam penegakan hukum adalah peran pemerintah
dalam perbaikan institusi kejaksaan dan kepolisian yang jelas berada di
bawah wewenang pemerintah. Kebijakan-kebijakan pemerintah
ini harus terus
didorong agar mempunyai
visi yang lebih jelas dan responsif terhadap persoalan-persoalan yang nyata
ada di masyarakat
3.2 Saran
Kami menyadari makalah ini masih
mempunyai kekurangan dan demi penyempurnaan makalah ini.maka kami membutuhkan kritik dan
saran yang bersifat positif/membangun dari pembaca.dan semoga makalah ini
bermanfaat untuk pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, A. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta:
Sapta Artha Jaya
Mahkamah Agung RI. 2003.
Cetak Biru
Pembaruan Mahkamah Agung
RI. Jakarta:
Mahkamah Agung RI
Mahkamah Agung RI
Moerad, P. 2005. Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan
Dalam Perkara Pidana Bandung: Alumni
Rifai, A. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim, Dalam Persfektif Hukum Progresif. Jakarta:
Sinar Grafika
Siregar, B. 2008 Kata Hatiku, Tentangmu. Jakarta: Diandra Press