Makalah Kewarganegaraan - Penegakan Hukum



BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
            Seperti yang kita ketahui, semua Negara pasti mempunyai peraturan-peraturan dan hukum,dan begitu juga dengan Negara Indonesia. Negara Indonesia adalah Negara hukum, yang mempunyai peraturan-peraturan hukum, yang sifatnya memaksa seluruh masyarakat atau rakyat Indonesia harus patuh terhadap peraturan-peraturan atau kebijakan-kebijakan hukum di Indonesia  bahkan juga memaksa orang asing yang berada di wilayah Indonesia untuk patuh terhadap hukum yang ada di Negara Indonesia, dan Negara pun membentuk badan penegak hukum guna mempermudah dalam mewujudkan Negara yang adil dan makmur. Tetapi tidak dapat dipungkiri masih banyak kesalahan dalam menegakan hukum di Negara kita. Dan masih banyak juga ketidak adilan dalam melaksanakan hukum yang berlaku.tetapi itu bukanlah salah dalam perumusan hukum,melainkan salah satu keteledoran badan-badan pelaksa hukum di Indonesia.
Akibat dari keteledoran tersebut banyak sekali pelangaran-pelangaran hukum, dan pelangar-pelangar hukum yang seharusnya di adili dan dikenakan sangsi yang seharusnya,malah dibiarkan begitu saja.dan hal ini sangat berdampak buruk bagi masa depan Negara ini.
Oleh karena itu kita akan membahas apa bagaimana  penegakan hukum yang adil.dan bagaimana upaya-upaya penegakan hukum di Negara kita ini. untuk memulihkan atau membentuk Negara yang memiliki hukum yang tegas dan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Karena masalah tersebut merupakan masalah yang sangat serius yang harus dipecahkan, guna menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.dan dalam menegakkan hukum di Indonesia.

1.2  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
   Apakah pengertian Penegakan Hukum?
   Apa saja unsur utama dalam Penegakan Hukum?
   Bagaimanakah ciri penegakan hukum yang baik?
   Bagaimanakah penegakan hukum di Indonesia?
   Bagaimana kebijakan yang perlu dilakukan pemerintah dalam penegakan hukum

1.3  Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk membahas mengenai Penegakan hukum di Indonesia.
            Makalah ini disusun juga dengan tujuan agar dapat dijadikan sumber referensi untuk pembelajaran selanjutnya. Disamping itu pula,untuk memenuhi tugas makalah individual mata kuliah Kewarganegaraan.




























BAB II
Penegakan Hukum

2.1       Pengertian Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu-lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudutnya penegakkan hukum dibagi menjadi dua yaitu dari sudut subjektif dan sudut objektif.
Dari sudut subjeknya penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.
Ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit.
Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.
Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

2.2     Unsur Utama dalam Penegakan Hukum
Menurut Gustav Radbruch terdapat tiga (3) unsur utama/tujuan dalam penegakan hukum, yaitu keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtssicherheit) dan kemanfaatan (Zweckmaβigkeit)
Kepastian hukum oleh setiap orang  dapat terwujud dengan ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Hukum yang berlaku pada dasarnya tidak  dibolehkan menyimpang, hal ini  dikenal juga dengan istilah  fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Barang siapa mencuri harus dihukum, dimana setiap orang yang mencuri harus dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Kepastian hukum sangat identik dengan pemahaman positivisme hukum. Positivisme hukum berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan undang-undang pada peristiwa yang konkrit. Undang-undang dan hukum diidentikkan. Hakim positivis dapat dikatakan sebagai corong undang-undang. Montesquieu menuliskan dalam bukunya “De l’esprit des lois” yang mengatakan:
Dans le gouverment republicant, il est de la nature de la constitution que les juges suivent la letter de la loi…Les juges de la nation ne sont qui la bounce qui pronounce les parolesde la loi, des etres inanimes qui n’en peivent moderer ni la force ni la rigueur” (Dalam suatu negara yang berbentuk Republik, sudah sewajarnya bahwa undang-undang dasarnya para hakim menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang tertulis dalam undang-undang. Para hakim dari negara tersebut adalah tak lain hanya merupakan mulut yang mengucapkan perkataan undang-undang, makhluk yang tidak berjiwa dan tidak dapat mengubah, baik mengenai daya berlakunya, maupun kekerasannya) (Hamzah, 1996: 114).
Dengan pernyataan itu, legisme sejalan dengan Trias Politika dari Montesquieu, yang menyatakan bahwa, hanya apa yang dibuat oleh badan legislatif saja yang dapat membuat hukum, jadi suatu kaidah yang tidak ditentukan oleh badan legislatif bukanlah merupakan suatu kaidah, hakim dan kewenangan pengadilan hanya menerapkan undang-undang saja. Penegakan hukum yang mengutamakan kepastian hukum juga akan membawa masalah apabila penegakan hukum terhadap permasalahan yang ada dalam masyarakat tidak dapat diselesaikan berdasarkan hati nurani dan keadilan.
Keadilan adalah harapan yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum. Berdasarkan karakteristiknya, keadilan bersifat subyektif, individualistis dan tidak menyamaratakan. Apabila penegak hukum menitik beratkan kepada nilai keadilan sedangkan nilai kemanfaatan dan kepastian hukum dikesampingkan, maka hukum itu tidak dapat berjalan dengan baik. Demikian pula sebaliknya jika menitik beratkan kepada nilai kemanfaatan sedangkan kepastian hukum dan  keadilan dikesampingkan, maka hukum itu tidak jalan. Idealnya dalam menegakkan hukum itu nilai-nilai dasar keadilan yang merupakan nilai dasar filsafat dan nilai-nilai dasar kemanfaatan merupakan suatu kesatuan berlaku secara sosiologis, serta nilai dasar kepastian hukum yang merupakan kesatuan yang secara yuridis harus diterapkan secara seimbang dalam penegakan hukum.
Hal menarik yang perlu dicermati apabila terdapat 2 (dua) unsur yang saling tarik menarik antara Keadilan dan Kepastian Hukum, Roeslan Saleh mengemukakan (dalam Siregar, 2008: 121-122):
“Keadilan dan kepastian hukum merupakan dua tujuan hukum yang kerap kali tidak sejalan satu sama lain dan sulit dihindarkan dalam praktik hukum. Suatu peraturan hukum yang lebih banyak memenuhi tuntutan kepastian hukum, maka semakin besar pada kemungkinannya aspek keadilan yang terdesak. Ketidaksempurnaan peraturan hukum ini dalam praktik dapat diatasi dengan jalan memberi penafsiran atas peraturan hukum tersebut dalam penerapannya pada kejadian konkrit. Apabila dalam penerapannya dalam kejadian konkrit, keadilan dan kepastian hukum saling mendesak, maka hakim sejauh mungkin harus mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”.

Roscue Pound sebagai salah satu ahli hukum yang ber-mazhab pada Sosiological Jurisprudence, terkenal dengan teorinya yang menyatakan bahwa, “hukum adalah alat untuk memperbarui (merekayasa) masyarakat (law as a tool of social engineering)”. Hal inilah yang menjadi tolak pemikiran dari Satjipto Raharjo dengan menyatakan,
”bahwa hukum adalah untuk manusia, pegangan, optik atau keyakinan dasar, tidak melihat hukum sebagai suatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum” (Halim, 2009: 390).

Dengan demikian, bahwa kedudukan keadilan merupakan unsur yang sangat penting dalam penegakan hukum di Indonesia. Indonesia memiliki kultur masyarakat yang beragam dan memiliki nilai yang luhur, tentunya sangat mengharapkan keadilan dan kemanfaatan yang dikedepankan dibandingkan unsur kepastian hukum. Keadilan merupakan hakekat dari hukum, sehingga penegakan hukum pun harus mewujudkan hal demikian. Disamping kepastian hukum dan keadilan, unsur lain yang perlu diperhatikan adalah kemanfaatan.
Kemanfaatan dalam penegakan hukum merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan dalam mengukur keberhasilan penegakan hukum di Indonesia. Menurut aliran Utilitarianisme, penegakan hukum mempunyai tujuan berdasarkan manfaat tertentu (teori manfaat atau teori tujuan), dan bukan hanya sekedar membalas perbuatan pembuat pidana, bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang melakukan tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Hukum yang baik adalah hukum yang memberikan kebahagiaan bagi banyak orang. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Jeremy Bentham, bahwa:
“Pemidanaan itu harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dan seberapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar” (Rahardjo, 2006: 275).
 Maka, apabila melihat hal yang ideal berdasarkan 3 (tiga) unsur/tujuan penegakan hukum yang telah dikemukakan di atas, penegakan hukum di Indonesia terlihat cenderung mengutamakan kepastian hukum. Harmonisasi antar unsur yang diharapkan dapat saling mengisi, ternyata sangat sulit diterapkan di Indonesia. Aparat penegak hukum cenderung berpandangan, hukum adalah perundang-undangan dan mengutamakan legal formil dalam setiap menyikapi fenomenal kemasyarakatan.

2.3  Ciri Penegakan Hukum Yang Baik
       Salah satu ciri penegakan hukum yang baik, tercermin dari tertib administrasi di dalam proses penegakan hukum serta adanya keterpaduan dan keserasian antar aparat penegak hukum khususnya dalam system peradilan pidana yang dikenal dengan integrated criminal justice system.
       Keterpaduan antar aparat penegak hukum tersebut tidak boleh disalahartikan sehingga hanya mengedepankan kerjasama antar aparat hukum saja yang dapat mengakibatkan terjadinya bias yang mengarah kepada tidak tertibnya administrasi atau bahkan dilanggarnya rule of law. Kerjasama antar aparat hukum dimaksudkan untuk memperlancar upaya penegakan hukum sesuai dengan asas cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak dalam penyelesaian perkara. Dengan kata lain, keterpaduan dimaksudkan untuk terciptanya efektifitas dan efisiensi yang merupakan ciri lain dari good governance  dengan tetap selalu memperhatikan rule of law dan tata tertib administrasi.

2.4 Penegakan Hukum di Indonesia
Jika dilihat dari segi penegakan hukumnya negara Indonesia bisa dibilang sedang mengalami keterpurukan dalam penegakan hukumnya. Karna beberapa kasus besar yang terjadi seperti Aliran Dana Bank Century, Kasus Mavia Pajak Gayus Tambunan, ditambah dengan Kasus Wisma Atelit yang menyeret mantan bendahara Partai Demokrat “Nazarudin” dan anggota DPR “Angelina Sondakh” sangat memprihatinkan, karna pemerintah tidak dapat menyelesaikan kasus tersebut secara tuntas.
Buruknya kinerja pemerintah dalam pemberantasan korupsi juga tergambar dari persepsi publik terhadap kondisi penegakan hukum secara nasional. LSI mencatat, dari data longitudinal lembaga itu terhadap kondisi penegakan hukum secara nasional, per Desember 2011 berada pada titik paling rendah, minus 7. Padahal, data pada Desember 2008, tren persepsi atas penegakan hukum secara nasional masih di angka 32. Berdasarkan data Governance Indicator World Bank 2011, dalam 10 tahun demokrasi Indonesia tidak mengalami kemajuan berarti, dan masih tetap negatif. “Korupsi tinggi, kepastian hukum rendah, regulasi tidak berkualitas, dan inefisiensi penyelenggaraan negara. Jika ini terus berlanjut, kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi bisa semakin merosot,” ujar Direktur Eksekutif LSI, Dodi Ambardi
Sebaiknya pemerintah segera melakukan perbaikan dalam penegakan hukum di Indonesia, karna banyak rakyat yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap masa pemerintahan Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ada baiknya generasi yang lebih tua mengajarkan nilai moral postif agar generasi muda tidak ikut terjerumus untuk melanggar norma-norma serta nilai-nilai yang luhur tertanam pada hukum di negeri Indonesia.

2.5     Kebijakan yang Perlu Dilakukan Pemerintah dalam Penegakan Hukum
Menukik ke pembicaraan yang lebih konkrit, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam penegakan hukum. Di tingkat substansi hukum -peraturan perundang-undangan- pemerintah perlu mendorong  pembentukan  perangkat  peraturan  yang  terkait  dengan  penegakan hukum dengan visi di atas. Misalnya saja, pembentukan peraturan yang mewajibkan prosedur teknis dalam melaksanakan prinsip transparansi dan akuntabilitas.Juga, pemerintah, sebagai salah satu aparat pembentuk undang-undang, perlu berinisiatf membentuk undang-undang yang berkaitan dengan perbaikan institusi penegakan hukum: Pengadilan, Kejaksaan, dan Kepolisian. Di tingkat aparat, perlu ada kebijakan yang berkaitan dengan disiplin yang tinggi. Bukan hanya aparat penegak hukum yang langsung berkaitan dengan pengadilan tetapi  seluruh  aparat  birokrasi  pemerintah.  Sebab  penegakan  hukum  bukanlah hanya dilakukan di pengadilan tapi juga soal bagaimana menjalankan peraturan perundang-undangan secara konsisten, tanpa kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dalam konteks “kultur” hukum, pemerintah perlu menjalankan kebijakan ke dua arah, yaitu kepada dirinya sendiri, dalam hal ini aparat birokrasi, dan kepada rakyat pengguna jasa penegakan hukum. Kultur ini bisa saja menjadi keluaran dari proses disiplin yang kuat yang menumbuhkan budaya penghormatan yang tinggi kepada hukum.  Namun  di samping itu, perlu  juga  dilakukan  rangkaian kegiatan  yang sistematis untuk mensosialisasikan hak dan kewajiban warga negara, agar muncul kesadaran politik dan hukum.

Anggaran Penegakan Hukum
Masih  dalam  konteks  kebijakan  pemerintah,  penegakan  hukum  inipun  harus
didukung pendanaan yang mencukupi oleh pemerintah serta, yang lebih penting lagi, perencanaan  pendanaan  yang  memadai.  Dalam  kurun  waktu  tiga  tahun terakhir, dana untuk sektor hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) meningkat dari tahun ke tahun. Namun, ada beberapa permasalahan dalam  hal  anggaran  ini,  seperti  diungkapkan  dalam  Kertas  Kerja  Pembaruan  Sistem  Pengelolaan Keuangan Pengadilan yang disusun oleh Mahkamah Agung bekerja  sama dengan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).
Dalam hal perencanaan dan pengajuan APBN, kelemahan internal pengadilan yang
berhasil  diidentifikasi  antara  lain: (i)  ketiadaan  parameter  yang  obyektif  dan    argumentasi  yang  memadai;  (ii)  proses  penyusunan  yang  tidak  partisipatif;  (iii) ketidakprofesionalan  pengadilan;  dan  lain-lain (MA,  2003:  53-55).  Kebanyakan  “perencanaan”  dana  pemerintah  untuk  satu  tahun  anggaran  tidak  dilakukan  berdasarkan  pengamatan  yang  menyeluruh  berdasarkan  kebutuhan  yang  riil, melainkan  menggunakan  sistem “line  item  budgeting”  menggunakan  metode penetapan anggaran melalui pendeketan “incremental” (penyusunan anggaran hanya  dilakukan dengan cara menaikkan jumlah tertentu dari anggaran tahun lalu atau anggaran yang sedang berjalan). Akibatnya, dalam pelaksanaan anggaran, muncul “kebiasaan”  untuk  menghabiskan  anggaran  di  akhir  tahun  anggaran,  tanpa memperhatikan hasil dan kualitas dari anggaran yang digunakan (MA, 2003: 53-55) .
Kertas Kerja tersebut merumuskan serangkaian rekomendasi yang sangat teknis guna mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut. Kertas Kerja itu memang lebih banyak ditujukan untuk mempersiapkan wewenang administrasi dan keuangan yang akan dipindahkan  dari  pemerintah  ke  Mahkamah  Agung.  Meski  begitu,  setidaknya  beberapa  rekomendasi  yang  sifatnya  umum  dan  sesuai  dengan  arah  kebijakan  penegakan hukum, seharusnya dapat diterapkan pula oleh pemerintah. 

Kebijakan yang Mendesak
Dalam jangka pendek, hal yang paling dekat yang bisa dilakukan pemerintah untuk mendukung  penegakan  hukum  misalnya  terkait  dengan  wewenang  administrasi pengadilan yang masih ada di tangan pemerintah hingga September 2004. Di sini, pemerintah bisa memainkan peranan penting dalam mendisiplinkan hakim-hakim yang diduga melakukan praktek korupsi dan kolusi. Selain itu, perlu ada dorongan dalam pembentukan undang-undang yang berkaitan dengan pembenahan institusi pengadilan. Seperti perubahan lima undang-undang yang berkaitan dengan sistem peradilan terpadu (integrated justice system), yaitu UU Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU Peradilan Tata Usaha Negara, UU Mahkamah Agung, UU Peradilan Umum, dan UU Kejaksaan. Kelima undang-undang ini tengah dibahas di  DPR  oleh  Badan  Legislasi (lihat  www.parlemen.net).  Sejauh  perannya  bisa dimainkan dalam proses pembahasan kelima undang-undang ini, pemerintah perlu mendorong perbaikan institusi yang mengedepankan pengadilan yang bersih dan independen. Begitu pula halnya dengan rencana penyusunan UU tentang Komisi Yudisial yang sudah disampaikan oleh Badan Legislasi DPR kepada pemerintah namun belum mendapatkan jawaban.
Dalam hal korupsi, yang tentunya berkaitan erat dengan konsistensi penegakan hukum, pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang tengah dilaksanakan harus mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Demikian juga dengan rencana pembentukan Pengadilan Khusus Korupsi yang direncanakan terbentuk  pada  bulan  Juni 2004 (lihat  Bappenas,  Cetak  Biru  Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi). Satu hal yang sama sekali tidak boleh dilupakan adalah peran pemerintah dalam perbaikan institusi kejaksaan dan kepolisian yang jelas berada di bawah wewenang pemerintah.  Pada  saat  ini  Kejaksaan  tengah  menyusun  cetak  biru  pembaruan kejaksaan dengan asistensi Komisi Hukum Nasional. Di sini perlu ada dorongan politik yang kuat agar cetak biru tersebut tersusun dengan baik dan, lebih penting lagi, dapat terlaksana dengan baik.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penegakan hukum merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Menurut Gustav Radbruch terdapat tiga (3) unsur utama/tujuan dalam penegakan hukum, yaitu keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtssicherheit) dan kemanfaatan (Zweckmaβigkeit).  Salah satu ciri penegakan hukum yang baik, tercermin dari tertib administrasi di dalam proses penegakan hukum serta adanya keterpaduan dan keserasian antar aparat penegak hukum khususnya dalam system peradilan pidana. Jika dilihat dari segi penegakan hukumnya negara Indonesia bisa dibilang sedang mengalami keterpurukan dalam penegakan hukumnya
Kebijakan yang perlu dilakukan pemerintah dalam penegakan hukum adalah peran pemerintah dalam perbaikan institusi kejaksaan dan kepolisian yang jelas berada di bawah wewenang pemerintah. Kebijakan-kebijakan  pemerintah  ini  harus  terus  didorong  agar mempunyai visi yang lebih jelas dan responsif terhadap persoalan-persoalan yang nyata ada di masyarakat

3.2 Saran
Kami menyadari makalah ini masih mempunyai kekurangan dan demi penyempurnaan makalah ini.maka kami membutuhkan kritik dan saran yang bersifat positif/membangun dari pembaca.dan semoga makalah ini bermanfaat untuk pembaca.





DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, A. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sapta Artha Jaya
Mahkamah  Agung  RI.  2003. Cetak  Biru  Pembaruan  Mahkamah  Agung  RI.  Jakarta:
Mahkamah Agung RI
Moerad, P. 2005. Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana Bandung: Alumni
Rifai, A. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim, Dalam Persfektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika
Siregar, B. 2008 Kata Hatiku, Tentangmu. Jakarta: Diandra Press













0 komentar: